Blogroll

Jumat, 29 Maret 2013

GELAPNYA LAUT DALAM AL-QUR`AN

"Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun." (Al Qur'an, 24:40)


Keadaan umum tentang lautan yang dalam dijelaskan dalam buku berjudul Oceans:
Kegelapan dalam lautan dan samudra yang dalam dijumpai pada kedalaman 200 meter atau lebih. Pada kedalaman ini, hampir tidak dijumpai cahaya. Di bawah kedalaman 1000 meter, tidak terdapat cahaya sama sekali. (Elder, Danny; and John Pernetta, 1991, Oceans, London, Mitchell Beazley Publishers, s. 27)
DENIZKAR1 ind
Pengukuran yang dilakukan dengan teknologi masa kini berhasil mengungkapkan bahwa antara 3 hingga 30% sinar matahari dipantulkan oleh permukaan laut. Jadi, hampir semua tujuh warna yang menyusun spektrum sinar matahari diserap satu demi satu ketika menembus permukaan lautan hingga kedalaman 200 meter, kecuali sinar biru (lihat gambar di samping). Di bawah kedalaman 1000 meter, tidak dijumpai sinar apa pun. (lihat gambar atas). Fakta ilmiah ini telah disebutkan dalam ayat ke-40 surat An Nuur sekitar 1400 tahun yang lalu..
Kini, kita telah mengetahui tentang keadaan umum lautan tersebut, ciri-ciri makhluk hidup yang ada di dalamnya, kadar garamnya, serta jumlah air, luas permukaan dan kedalamannya. Kapal selam dan perangkat khusus yang dikembangkan menggunakan teknologi modern, memungkinkan para ilmuwan untuk mendapatkan informasi ini.
Manusia tak mampu menyelam pada kedalaman di bawah 40 meter tanpa bantuan peralatan khusus. Mereka tak mampu bertahan hidup di bagian samudra yang dalam nan gelap, seperti pada kedalaman 200 meter. Karena alasan inilah, para ilmuwan hanya baru-baru ini saja mampu menemukan informasi sangat rinci tersebut tentang kelautan. Namun, pernyataan "gelap gulita di lautan yang dalam" digunakan dalam surat An Nuur 1400 tahun lalu. Ini sudah pasti salah satu keajaiban Al Qur’an, sebab infomasi ini dinyatakan di saat belum ada perangkat yang memungkinkan manusia untuk menyelam di kedalaman samudra.
Selain itu, pernyataan di ayat ke-40 surat An Nuur "Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan…" mengarahkan perhatian kita pada satu keajaiban Al Qur’an yang lain.
Para ilmuwan baru-baru ini menemukan keberadaan gelombang di dasar lautan, yang "terjadi pada pertemuan antara lapisan-lapisan air laut yang memiliki kerapatan atau massa jenis yang berbeda." Gelombang yang dinamakan gelombang internal ini meliputi wilayah perairan di kedalaman lautan dan samudra dikarenakan pada kedalaman ini air laut memiliki massa jenis lebih tinggi dibanding lapisan air di atasnya. Gelombang internal memiliki sifat seperti gelombang permukaan. Gelombang ini dapat pecah, persis sebagaimana gelombang permukaan. Gelombang internal tidak dapat dilihat oleh mata manusia, tapi keberadaannya dapat dikenali dengan mempelajari suhu atau perubahan kadar garam di tempat-tempat tertentu. (Gross, M. Grant; 1993, Oceanography, a View of Earth, 6. edition, Englewood Cliffs, Prentice-Hall Inc., s. 205)
Pernyataan-pernyataan dalam Al Qur'an benar-benar bersesuaian dengan penjelasan di atas. Tanpa adanya penelitian, seseorang hanya mampu melihat gelombang di permukaan laut. Mustahil seseorang mampu mengamati keberadaan gelombang internal di dasar laut. Akan tetapi, dalam surat An Nuur, Allah mengarahkan perhatian kita pada jenis gelombang yang terdapat di kedalaman samudra. Sungguh, fakta yang baru saja diketemukan para ilmuwan ini memperlihatkan sekali lagi bahwa Al Qur'an adalah kalam Allah.
Read More : GELAPNYA LAUT DALAM AL-QUR`AN

Cintaku ini bagaikan Tajwid

Saat pertama kali berjumpa denganmu, aku bagaikan berjumpa dengan saktah…
hanya bisa terpana dengan menahan nafas sebentar…

Aku di matamu mungkin bagaikan nun mati di antara idgham billaghunnah, terlihat, tapi dianggap tak ada…
Aku ungkapkan maksud dan tujuan perasaanku seperti Idzhar,
jelas dan terang…

Jika mim mati bertemu ba disebut ikhfa syafawi, maka jika aku bertemu dirimu, itu disebut cinta…

Sejenak pandangan kita bertemu, lalu tiba-tiba semua itu seperti Idgham mutamaatsilain…
melebur jadi satu.

Cintaku padamu seperti Mad Wajib Muttasil…Paling panjang di antara yang lainnya…
Setelah kau terima cintaku nanti, hatiku rasanya seperti Qalqalah kubro.. terpantul-pantul dengan keras…

Dan akhirnya setelah lama kita bersama, cinta kita seperti Iqlab, ditandai dengan dua hati yang menyatu..
Sayangku padamu seperti mad thobi’I dalam quran… Buanyaaakkk beneerrrrr….
semoga dalam hubungan., kita ini kayak idgham bilaghunnah ya,cuma berdua, lam dan ro’ ..

Layaknya waqaf mu’annaqah, engkau hanya boleh berhenti di salah satunya. dia atau aku?
Meski perhatianku ga terlihat kaya alif lam syamsiah,
cintaku pdmu spt alif lam Qomariah, terbaca jelas…
kau & aku spt Idghom Mutaqooribain..perjumpaan 2 huruf yang sama makhrajnya tapi berlainan sifatnya…

Aku harap cinta kita seperti waqaf lazim,terhenti sempurna diakhir hayat…
Sama halnya dgn Mad ‘aridh dimana tiap mad bertemu lin sukun aridh akan berhenti,seperti itulah pandanganku ketika melihatmu.

Layaknya huruf Tafkhim,Namamu pun bercetak tebal di fikiranku
Seperti Hukum Imalah yg dikhususkan untuk Ro’ saja,begitu juga aku yang hanya utkmu.
Semoga aku jadi yang terakhir untuk kamu seperti mad aridlisukun …

Read More : Cintaku ini bagaikan Tajwid

Sabtu, 23 Maret 2013

ARTI AYAT "MATAHARI TENGGELAM DI LUMPUR HITAM"

Para kaum Misionaris mengambil QS. Al-Kahfi : 86. Secara sepenggal tanpa memperhatikan ayat sebelumnya. Dalam ayat ini terdapat kata-kata : تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ yang bermakna “matahari tenggelam di dalam laut yang ber-lumpur hitam ”. Lantas mereka berkata : “Qur’an mengajarkan bahwa matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam”.
Sesungguhnya pemahaman ayat ini tidak sebagaimana yang mereka fahami, karena tidak ada se-orang ahli tafsir dari kalangan kaum muslimin yang menafsirkan ayat ini sebagaimana yang mereka fahami dengan kesempitan fikiran mereka.


Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya mengomentari penafsiran yang demikian :
وأكثر ذلك من خرافات أهل الكتاب، واختلاق زنادقتهم وكذبهم
“Dan kebanyakan yang demikian itu berasal dari khurofatnya Ahli Kitab, dan karangannya kaum zindiq dan pendusta dari kalangan mereka.”
Makna kalimat “matahari tenggelam di dalam lautan” adalah makna kiasan, sebagaimana kalimat yang serupa sering dilontarkan oleh para ahli sastra, seperti : “ matahari pun hilang di telan bumi “, maknanya adalah kiasan, yaitu matahari menghilang seolah-olah ditelan bumi. Dan tidak ada se-orang ahli sastra pun yang menyalahkan kalimat ini, begitu pula dengan para ahli ilmu falaq, karena setiap pembicaraan dihukumi dengan tempatnya, sebagaimana tersebut dalam kaidah فِيْ كُلِّ مَقَامٍ مَقَالٌ
yaitu “setiap perkataan ada tempatnya”. Yakni, bila suatu perkataan dilontarkan tidak pada tem- patnya maka dapat dihukumi dengan salah, walau pun pada hakekatnya adalah benar. Seperti ketika dalam pelajaran sejarah ditanyatakan : “Kenapa Diponegoro bisa tertangkap ?”, lalu ada murid yang menjawab : “Karena taqdir.” Jawaban murid tersebut pada hakekatnya adalah benar, namun tidak pada tempatnya sehingga gurunya menyalahkannya. Bukankah demikian ?
Begitu pula ketika berbicara tentang ketinggian gaya bahasa, maka tidak disalahkan mengatakan : “matahari tenggelam ditelan lautan” dalam dalam ilmu balaghoh jenis kalimat ini disebut Majaz ‘Aqli yaitu kiasan yang dapat diterima oleh akal. Contoh lain dari Majaz ‘Aqli ini seperti pada kali- mat : “Hujan telah menumbuhkan tanam-tanaman”, padahal hakekatnya bukan demikian, karena Allah saja Yang bisa menumbuhkan tanam-tanaman melalui sari makanan yang dibawa oleh air hujan. Namun kesan yang segera terbesit dalam fikiran yaitu karena hujan maka tumbuh tanam-tanaman. Begitu pula bagi siapa pun yang berdiri di tepi pantai dari sebuah lautan yang luas ketika matahari tenggelam, maka ia melihat seolah-olah matahari tenggelam ditelan lautan. Tetapi hakekat nya tidaklah demikian. Inilah pemahaman yang disampaikan oleh seluruh ahli tafsir dari kalangan kaum muslimin tanpa ada perselisihan di dalam masalah ini.
Ada pun kalimat فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ “di dalam laut yang berlumpur hitam” menegaskan kepada kita adanya beberapa faidah sains, yaitu :
  1. Warna laut ditentukan oleh keberadaan dasarnya. Bila dasar laut berlumpur hitam, maka laut pun tampak berwarna hitam, seperti LAUT HITAM yang ada di sebelah utara Turki.
  2. Dasar dari lautan yang luas dan dalam adalah berwarna gelap, karena tidak ada cahaya yang masuk ke dasarnya, sehingga nampak terlihat berwarna hitam.
  3. Semakin gelap warna lautan bebas menandakan semakin dalam dasar lautnya.
Dengan demikian kalimat “matahari tenggelam di dalam laut yang berlumpur hitam “ menunjuk-kan keberadaan Dzulqarnain di tepi Laut Hitam atau di tepi lautan bebas yang luas dan dalam yang nampak dari sana seolah-oleh matahari tenggelam di telan lautan. Lalu di mana letak kenyentrikan ayat ini sebagaimana dituduhkan oleh mereka ?
Perhatikan konteks ayatnya baik-baik:
“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya. Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu maka diapun menempuh suatu jalan, Hingga apabila dia telah sampai ketempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata: “Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.”
(Al Qur’an 18:83-86)
Protes yang mereka utarakan ialah bagaimana mungkin Matahari terbenam di dalam laut yang padahal matahari jutaan kali lebih besar dari bumi dan mustahil terbenam kedalam laut yang berlumpur hitam! Mereka mengong-gong dengan membawa protes ini di setiap diskusi mengenai saintifik Al-Quran.
Ayat tersebut mengatakan, “ dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam” , dari potongan ayat ini saja sebenarnya sudah bisa menjawab protes mereka, dan merekapun sebenarnya memahaminya. Ayat tersebut memberitahukan pengelihatan itu menurut pengelihatan dan pandangan Dzulkarnaen, oleh karenanya Allah SWT tidak mengatakan bahwa “matahari terbenam”.
Dan di note ini saya sertakan sejumlah komentar dari para ahli tafsir, silahkan di ikuti.
Imam Al-Baidawi;
Ia (Dzulkarnaen) mungkin saja sampai di tepi pantai dan melihat matahari disitu karena sejauh mata memandang hanyalah air laut oleh karenanya Allah SWT mengatakan “ dia melihat matahari terbenam di dalam laut” namun tidak mengatakan bahwa “matahari terbenam”. (namun dia melihat matahari terbenam)(Al-Baidawi, Anwar-ut-Tanzil wa Asrar-ut-Taw’il, Volume 3, halaman 394. Diterbitkan oleh Dar-ul-Ashraf, Kairo, Mesir)
Imam Al-Qurtubi menyatakan;
Al Qaffal mengatakan: Maksudnya bukanlah dengan mencapai tempat dan terbit matahari sehingga ia dapat mencapai matahari dan menyentuhnya, karena matahari jauh diangkasa sana, disekitar bumi tanpa menyentuhnya dan terlalu besar untuk terbenam kedalam laut manapun yang berada dibumi. Ia jauh lebih besar dari bumi. Namun hal tersebut dimaksudkan bahwa ia telah mencapai ujung daerah yang masih berpenduduk di timur dan barat, kemudian Dzulkarnaen melihat kejadian itu – menurut pengelihatannya – terbenam kedalam laut yang berlumpur hitam seperti halnya kita mengamati matahari ditanah rata seolah-olah matahari itu masuk kedalam tanah. Oleh karenanya Allah berfirman:
“Hingga apabila dia (Dzulkarnaen) telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari”. (Al-Qurtubi, Al-Game’ le Ahkam-el-Qur’an, Volume 16, halaman 47. Published by Dar-ul-Hadith, Kairo, Egypt. ISBN 977-5227-44-5)
Imam Fakhr-ud-Deen Ar-Razi menyatakan;
Di kala Dzulkarnaen mencapai barat jauh dan tidak ada lagi dari berpenguhi, dia mlihat mahari seolah-olah terbenam kedalam laut berlumpur, namun bukan sebenarnya begitu. Hal yang sama seperti seorang pekalan melihat matahari seolah terbenam kedalam laut jika ia tidak dapat melihat bagian pantai, yang padahal matahari tersebut terbenam bukan kedalam laut.(Ar-Razi, At-Tafsir-ul-Kabir, Volume 21, halaman 166)
Imam Ibn Kathir menyatakan;
Hingga apabila dia (Dzulkarnaen) telah sampai ke tempat terbit matahari” berarti ia mengikuti arah yang benar hingga ia mencapai daerah terjauh, ia mungkin memulai perjalanan dari barat. Karena mencapai terbitnya matahari di langit adalah mustahil. Apa yang di katakana para periwayat dan pencerita mengenai ia berjalan dalam suatu masa dimuka bumi disaat matahari terbenam dibelakangnya adalah dusta, dan sebagian cerita-cerita ini adalah mitos para Ahli Kitab dan temuan-temuan kebohongan mereka.
“Ia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam “ berarti ia melihat matahari menurut pandangannya terbenam kedalam laut dan hal ini pun terjadi pada semua orang yang berada di pantai yang melihat seolah-olah matahari terbenam kedalamnya (kedalam laut). (Ibn Kathir, Tafsir-ul-Qur’ân Al-’Azim, Volume 5, halaman 120. Diterbitkan oleh Maktabat-ul-Iman, Mansoura, Mesir)
“Sehingga, apabila dia sampai di tempat terbenam Matahari, didapatinya matahari itu terbenam dalam mata air yang berlumpur hitam. Di sana didapatinya satu kaum. Kami berkata : Hai, Zulkarnain, adakalanya engkau siksa (kaum yang kafir itu) atau engkau perlihatkan kepada mereka kebaikan…” Surah al-Kahfi 18 ayat 86
Ungkapan ‘aynin hami’e’ yang terdiri dari kata ‘ayn’ = mata air’ dan ‘hami’ =lumpur atau dapat berarti pandangan yang kurang jelas Atau tipuan penglihatan, selain itu disana pun disebutkan adanya sekumpulan kaum manusia, kalau “hami” diartikan lumpur, tidak mungkin ada manusia yang hidup dalam lumpur, maupun dalam mata air. Itu sebabnya disana menggunakan kata ‘Hami’ yaitu pandangan yang kurang jelas
Jadi Maknanya jelas dari kalimat “didapatinya Matahari itu terbenam dalam mata air yang berlumpur hitam” adalah didapatinya, “nya” disini adalah Zulkarnaen, jadi Zulkarnaen melihat pandangan yang kurang jelas atau tipuan penglihatan matahari masuk kedalam mata air bukan.
Jika kita melihat matahari terbenam di layar televisi tepat seperti melihat matahari yang tenggelam di dalam laut. Warna-warni di layar berubah ketika matahari tenggelam di atas laut, ini terlihat berwarna keabu-abuan di layar televisi. Oleh karena itu, bagi orang-orang yang melihat hal ini, pemandangan terlihat seolah-olah tenggelam di dalam lautan berlumpur hitam.
Selain itu, ayat ini berhubungan dengan adanya belahan dunia ini. Ketika matahari di satu daerah belahan dunia timur tenggelam di sebelah barat, maka ditempat terbenamnya matahari itupun kita akan menemukan sekumpulan manusia di belahan bumi barat dan disini kita akan menemukan matahari malah terbit. Jadi ini sekaligus membuktikan bahwa bumi kita bulat. 

Sekedar untuk perbandingan biar adil, kalau mereka boleh membahas Alqur’an, kita juga boleh dunk membahas Alkitab. Sekarang coba kita kaji ayat kitab agama tetangga sebelah tentang konsep bumi, sebenarnya banyak sekali ayat Bible yang sangat tidak masuk akal dan bertentangan dengan IPTEK dan penelitian ilmiah. Kalau saya posting semua maka note ini akan terlalu panjang. Maka untuk kali ini saya akan bahas satu pokok bahasan saja yaitu tentang apakah bumi akan kiamat atau tidak menurut Alkitab. Kita lihat apakah ayat-ayat Bible itu masuk akal dan ilmiah.
Beberapa Ilmuwan telah mengatakan bahwa dunia akan kiamat, ada beberapa hipotesis, penelitian ilmiah & dugaan-dugaan. Beberapa di antara mereka mungkin benar dan sebagian mungkin bisa salah.
Tapi apapun itu apakah Dunia akan Musnah atau ada selamanya, keduanya tidak dapat terjadi dalam waktu bersamaan. Cuma salah satunya saja yang pasti terjadi
Sangat tidak masuk akal! Tapi itulah yang Bible,katakan dalam Ibrani 1:10-11 dan Mazmur 102:26-27 Tuhan menciptakan Langit dan Bumi dan keduanya akan Musnah.
Ibrani 1:10-11: Dahulu sudah Kauletakkan dasar bumi, dan langit adalah buatan tangan-Mu.
Mazmur 102:26-27 : Semuanya itu akan binasa, tetapi Engkau tetap ada, dan semuanya itu akan menjadi usang seperti pakaian, seperti jubah Engkau akan mengubah mereka, dan mereka berubah.
Dari kedua ayat ini dapat disimpulkan bahwa Tuhan menciptakan Langit dan Bumi dan keduanya akan Musnah.
Selanjutnya di bagian lain terdapat ayat-ayat yang benar-benar kebalikannya dari  Mazmur 78:69 dan Pengkotbah 1:4 bahwa bumi akan ada Untuk selamanya.
 Mazmur 78:69 :Ia membangun tempat kudus-Nya setinggi langit, laksana bumi yang didasarkan-Nya untuk selama-lamanya;.
Pengkotbah 1:4 :Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada.
Dari kedua ayat ini kesimpulannya bumi akan abadi
Jadi yang benar yang mana? Mereka tidak akan bisa untuk memilih yang mana diantara kedua ayat itu yang Tidak Ilmiah
Yang pertama atau yang kedua salah satunya harus Ilmiah, tidak bisa keduanya. Jika dianggap benar keduanya maka itu tidak akan mungkin, sesuatu yang jelas kontradiktif satu sama lain. Tapi jika dianggap benar salah satunya, kok bisa ayat alkitab ada yang salah, apa mungkin Tuhan salah dalam berfirman? atau Tuhan kok plin-plan?
Wallahu’alam bishshowab….

Sumber : http://forum.muslim-menjawab.com/2012/01/25/menjawab-tuduhan-menurut-alquran-matahari-tenggelam-di-laut-berlumpur/
Read More : ARTI AYAT "MATAHARI TENGGELAM DI LUMPUR HITAM"

Maksud Kata "KAMI" dalam Al-Qur`an

SERING KALI, orang-orang kufar mencoba mengganggu kita dengan bertanya: Mengapa Qur’an sering menggunakan kata KAMI untuk ALLAH? Bukankah kami itu berarti "banyak"? Apakah itu bermakna Qur’an pun mengakui Tuhan itu lebih dari 1? meskipun dalam Islam tidak ada Tuhan Selain Allah, tapi meraka bersih keras mengklaim bahwa maksud/arti kata KAMI tersebut diterjemahkan dengan otak kerdil mereka yang berarti "lebih dari satu". 
Nah . .  sekarang saya coba mematahkan anggapan mereka yang tidak berdasar itu, sekaligus berbagi pada sesama Muslim.
 
Kata KAMI Sebagai Penghormatan
perlu anda ketahui terlabih dahulu bahwa Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat dan paling sukar dipelajari. Hal ini disebabkan karena dalam 1 kata, bahasa arab memiliki banyak makna.
Contoh: Sebuah gender, dalam suatu daerah boleh bermakna lelaki, tapi dalam daerah lain boleh bermakna perempuan.
Dalam bahasa Arab, dhamir ‘NAHNU’ ialah dalam bentuk jamak yang berarti kita atau kami. Tapi dalam ilmu ‘NAHWU’, maknanya tak cuma kami, tapi aku, saya dan lainnya.
Jika memang “KAMI” dalam qur’an diartikan sebagai lebih dari 1, lalu mengapa orang arab atau muslim lainnya tidak menyembah Allah lebih dari 1? Mengapa tetap 1 Allah saja? Tentu karena mereka paham tata bahasa mereka sendiri.
Dalam ilmu bahasa arab, penggunaan banyak istilah dan kata itu tidak selalu bermakna zahir dan apa adanya. Sedangkan Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi.
Selain kata ‘Nahnu”, ada juga kata ‘antum’ yang sering digunakan untuk menyapa lawan bicara meski hanya satu orang. Padahal makna ‘antum’ adalah kalian (jamak).
Secara rasa bahasa, bila kita menyapa lawan bicara kita dengan panggilan ‘antum’, maka ada kesan sopan dan ramah serta penghormatan ketimbang menggunakan sapaan ‘anta’ apalagi "ente".
  
Kata ‘Nahnu’ tidak harus bermakna BANYAK, tetapi menunjukkan keagungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ini dipelajari dalam ilmu balaghah.
Contoh: Dalam bahasa kita ada juga penggunaan kata “Kami” tapi bermakna tunggal. Misalnya seorang berpidato sambutan berkata,”Kami merasa berterimakasih sekali . . . “
Padahal orang yang berpidato cuma sendiri dan tidak beramai-ramai, tapi dia bilang “Kami”. Lalu apakah kalimat itu bermakna jika orang yang berpidato sebenarnya ada banyak atau hanya satu ?
Kata kami dalam hal ini digunakan sebagai sebuah rasa bahasa dengan tujuan nilai kesopanan. Tapi rasa bahasa ini mungkin tidak bisa dicerap oleh orang asing yang tidak mengerti rasa bahasa. Atau mungkin juga karena di barat tidak lazim digunakan kata-kata seperti itu.
Di dalam Al-Quran ada penggunaan yang kalau kita pahami secara harfiyah akan berbeda dengan kenyataannya. Misalnya penggunaan kata ‘ummat’.
Biasanya kita memahami bahwa makna ummat adalah kumpulan dari orang-orang. Minimal menunjukkan sesuatu yang banyak. Namun Al-Quran ketika menyebut Nabi Ibrahim A.s yang saat itu hanya sendiri saja, tetap disebut dengan ummat.
QS.16 An-Nahl :120 ; Sesungguhnya Ibrahim adalah “UMMATAN ” yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan.
Dalam tata bahasa Arab, ada kata ganti pertama singular [anâ], dan ada kata ganti pertama plural [nahnu]. Sama dengan tata bahasa lainnya. Akan tetapi, dalam bahasa Arab, kata ganti pertama plural dapat, dan sering, difungsikan sebagai singular.
Dalam grammer Arab [nahwu-sharaf], hal demikian ini disebut “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i”, kata ganti pertama yang mengagungkan dirinya sendiri.
Permasalahan menjadi membingungkan setelah Al-Quran yang berbahasa Arab, dengan kekhasan gramernya, diterjemahkan ke dalam bahasa lain, termasuk Indonesia, yang tak mengenal “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i” tersebut.
Contoh penggunaan kata KAMI dalam Qur’an: QS. 15 Hijr: 66 ; Dan telah Kami wahyukan kepadanya perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.
“Kami wahyukan…” Maka disini berarti ada peran makhluk lain yaitu Malaikat Jibril sebagai pembawa atas perintah Allah.

B. Konteks Penggunaan Kedua.
Kata “Kami” bisa bermakna bahwa dalam mengerjakan tindakan tersebut, Allah melibatkan unsur-unsur makhluk (selain diri-Nya sendiri). Dalam kasus nuzulnya al-Qur’an, makhluk-makhluk yang terlibat dalam pewahyuan dan pelestarian keasliannya adalah sejumlah malaikat, terutama Jibril; kedua Nabi sendiri; ketiga para pencatat/penulis wahyu; keempat, para huffadz (penghafal) dll. (Coba perhatikan baik-baik, kebanyakan ayat-ayat yang bercerita tentang turunnya al-Qur’an [dalam format kalimat aktif], Allah cenderung menggunakan kata Kami).
Contoh
“Sesungguhnya Kami telah turunkan al-Zikr [Al-Qur'an] dan Kami Penjaganya (keaslian)”. [kami lupa pada surat dan ayat berapa].
Contoh lain, coba lihat ayat-ayat tentang mencari rezki. Dalam ayat-ayat tersebut. Allah sering
menggunakan kata Kami; artinya, rezki harus diusahakan oleh manusia itu sendiri, walaupun kita juga yakin bahwa rezki sudah ditentukan oleh Allah.

Ayat yang menggunakan kata Kami biasanya menceritakan sebuah peristiwa besar yang berada di luar kemampuan jangkauan nalar manusia, seperti penciptaan Adam, penciptaan bumi, dan langit. Di sini, selain peristiwa itu sendiri yang nilai besar, Allah sendiri ingin menokohkan/memberi kesan “Kemahaan-Nya” kepada manusia, agar manusia dapat menerima/mengimani segala sesuatu yang berada di luar jangkauan nalar/rasio manusia.
Contoh.
“Sesungguhnya KAMI telah menciptakan
kamu (Adam), lalu KAMI bentuk tubuhmu,
kemudian KAMI katakan kepada para malaikat:
“Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka
merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk
mereka yang bersujud” ([al-A’raf 7:11)


Contoh penggunaan kata AKU dalam Qur’an:
11. Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: “Hai Musa.
12. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada dilembah yang suci, Thuwa.
13. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan.
14. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah Shalat untuk mengingat Aku.
Pada ayat-ayat di atas, kata AKU digunakan karena Allah sendiri berfirman langsung kepada Nabi Musa tanpa perantara Malaikat Jibril….

Dan perlu anda ingat dan ketahui, selain kata KAMI, Al-Quran juga memuat kata KAMI dan AKU dalam satu ayat. 
Contoh penggunaan kata KAMI dan AKU yang bersamaan dalam Qur’an:
QS.21 Anbiyaa: 25. Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.
Kata KAMI digunakan saat Allah mewahyukan dengan perantara Malaikat Jibril, & kata AKU digunakan sebagai perintah menyembah Allah saja.

Wallahu a’lam bisshowab

Semoga bermanfaat

SUMBER :
http://votreesprit.wordpress.com/2012/08/10/makna-kata-kami-dalam-al-quran/
http://bin99.wordpress.com/about/penggunaan-kata-kami-dalam-al-quran/
Read More : Maksud Kata "KAMI" dalam Al-Qur`an

  © Blogger templates The Transformers by Blog Tips And Trick 2009